Minggu, 13 Oktober 2013

Kapan Jatuh Cinta Tidak Sakit?


Hujan dan senja. Dua komponen alam yang paling aku syukuri adanya. Aku amat menyukainya. Hujan dapat menghadirkan perpaduan antara dentingan melodi alam dan bau tanah basah yang membawa ketenangan. Juga senja, yang menjadi jembatan bagi dua perbedaan nyata, siang dan malam. Bagai penyatu dua insan yang berbeda.
Begitupun kamu. Senyummu yang selalu kurapal setiap hari, menjadi pasokan energi tersendiri bagiku. Ingatanku, pikiranku, hatiku, selalu saja tersita untuk sosokmu. Ah, kamu memang selalu seperti itu, bukan? Beribu hari telah kuhabiskan untuk memikirkanmu, dan entah dimana titik jenuhnya. Hati ini telah terpaut.
Di bawah rinai hujan pada senja itu aku bersandar di jok belakang mobil. Pekerjaan yang menumpuk selama beberapa minggu terakhir telah aku selesaikan. Hari ini merupakan hari terakhir masuk kerja sebelum kantorku memberi libur sampai satu minggu setelah lebaran. Lebaran tahun ini jatuh di bulan Agustus, tepat di tanggal 25. Ah, tanggal itu.
Aku merasakan mata ini semkain perih. Hujan jatuh sudah di pipi. Hatiku sakit lagi. Pikiranku bergelut pada suatu kenangan. Kenanganku bersama dengan sosokmu.
----
Lagi-lagi aku termenung di sini. Entah berapa lama sudah aku menunggu sosok kamu yang tak kunjung datang. Kamu telah berjanji untuk menemuiku di sini, tempat dimana pertama kali kita bertemu. Sudah berapa lama kita saling kenal? Lima bulan? Enam bulan? Ah, mungkin kamu juga sudah melupakannya. Tapi tidak denganku. Aku masih mengingat betul setiap kepingan-kepingan kejadian saat kali pertama kita bertemu. Hari itu bertanggal 25 Agustus 2010. Saat kau tak sengaja menendang bola keluar lapangan futsal, dan mengenaiku yang sedang duduk di taman samping lapangan futsal tempatmu bermain. Siapa yang menyangka bola itu mengenaiku? Dan siapa pula yang menyangka bahwa hal sepele seperti itulah yang membawa hatiku padamu.
“Masih menunggu?” suara lelaki itu menyelamatkanku. Suara yang amat kuhapal. “Maaf ya, overslept” lanjutnya ringan.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Tak terhitung berapa kali sudah aku dikecewakan seperti ini. Apakah kamu tidak merasa?
“Oh ya, tadi di jalan aku mampir beli ini untuk kamu” ujarnya sembari memberikan setangkai mawar putih.
“Dari mana kamu tau aku suka mawar putih? Aku tak pernah memberitahumu, bukan?” aku terkesiap melihat tingkahnya yang tiba-tiba berubah jadi manis. Kamu memang paling tau cara membuatku lupa pada rasa kecewa.
Yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya menujuk dadanya sambil tersenyum manis. Ya, manis sekali. Melihat air mukaku yang salah tingkah, dia justru memanggil penjual balon yang lewat tak jauh di depannya. Ia membelikanku sebuah balon warna pink berbentuk hati.
“Adek, maafin Kakak ya udah sering bikin Adek kecewa. Kakak nggak pernah bermaksud nyakitin Adek, kok. Kakak kan sayang Adek.” Mimik mukanya serius, tapi tetap saja tak bisa kutebak. Memang sudah seminggu ini aku dijadikannya sebagai adik. Awal dari pedekate, katanya sih. Selepas itu ia benar-benar membuatku bahagia hari ini. Ia berhasil membuatku melupakan rasa kecewaku. Aku juga melupakan rasa penatku terhadap tugas dan ulangan yang menumpuk di kelas 12, seperti aku saat ini. Awal kelas 12 memang melelahkan. Tetapi ia selalu bisa menjadi pasokan energi bagiku, walaupun hanya kulihat senyum manisnya.
---
Pagi ini datang lebih indah dari biasanya. Ujian Nasional telah berakhir minggu lalu, membawa pergi bebanku sebagai siswi SMA. Walaupun pengumuman baru ada bulan depan, aku tetap merasa puas. Perjuanganku untuk mendaftar beasiswa di Kanada telah menemui ujung. Setelah melewati berbagai tes tertulis dan wawancara, aku dinyatakan lulus. Kemarin pak pos membawakan surat untukku, bukan surat cintaku yang pertama, tapi surat keterangan penerimaan beasiswa itu. Begitu pula dia. Ya, sampai saat ini aku masih dekat dengannya, memang belum bisa dibilang menjalin sebuah hubungan, aku juga tak tau apa namanya. Ia telah diterima di salah satu universitas terbaik di Jogjakarta. Fakultas kedokteran, sesuai dengan cita-citanya. Aku turut berbahagia, tentu saja.
Tapi keindahan pagi ini tak bertahan lama. Aku teringat pada jarak yang akan membentang diantara kita nanti. Ribuan kilometer yang membentang antara Jogja dan Kanada. Sanggupkah kita saling merindu? Hal ini terus mengusik pikiranku.
Seminggu sebelum keberangkatanku menuju kanada, kami bertemu di taman itu. Aku amat senang karena kami akan bertemu. Sayangnya, hari itu awan mendung menggantung di atas kota. Tak secerah hatiku, pikirku awalnya.
“Akhirnya kita harus berpisah” ia membuka pembicaraan. Kata-katanya tadi membuatku tersentak.
“Apa yang sedang kamu bicarakan ini?” tanyaku gugup, tak siap menerima jawabannya.
“Ya, kita memang harus berpisah bukan? Aku di Jogja dan kamu di Kanada. Anyway, selamat ya!” ia memandang jauh ke depan. Jujur saja, aku amat senang mendengar jawaban itu.  Aku menghela napas lega. Namun tak selang beberapa lama ia membuka suara lagi, seolah tak memberi waktu untuk aku bernapas.
“Begitu juga dengan kita. Semua yang terjadi selama ini, kurasa kau harus melupakannya” Ujarnya lirih. Aku tercekat. Tak siap dengan jawaban tadi.
“Ta.. tapi kenapa? Apa maksudmu?” aku memburu. Mata ini terasa panas sudah.
“Bukankah kita sama-sama tau bahwa akan ada ribuan kilometer yang memisahkan kita? Aku.. Aku hanya tak siap LDR.” Ia terdiam kemudian. Jawabannya cukup untuk membungkam mulutku. Tak ada sepatah katapun yang aku keluarkan setelahnya. Selemah itukah perasaannya kepadaku? Semudah itukah?
Aku langsung memasuki kamarku sesampainya aku di rumah. Air mataku tak terbendung lagi. Tapi kemudian aku sadar, apa yang sedang aku lakukan ini? Siapa dia? Toh kami memang tak pernah resmi pacaran. Kenapa aku harus menangis?
Kakiku tergerak menuju meja belajarku. Aku menyalakan laptop yang langsung terkoneksi dengan internet. Entah apa yang menuntunku untuk membuka laman twitter. Namun yang muncul di layar laptopku adalah account twitter milik dia. Aku teringat bahwa ia memang pernah memberikan passwordnya kepadaku. Tanpa sadar aku membuka Direct Message miliknya. Aku terkesiap. Aku menemukan sebuah fakta. Akhirnya aku tau mengapa ia meninggalkanku. Bukan karena alasan LDR. Bukan. Melainkan karena wanita lain. Aku merasa dikhianati. Apalagi setelah aku tau bahwa wanita itu adalah sahabatku sendiri. Hati ini terasa amat sakit. Tapi anehnya, aku tak menangis. Entah karena air mata yang telah kering atau karena aku justru bersyukur karena aku telah ditunjukkan sosok aslinya. Memang cinta begitu menyakitkan. Selama ini aku meneguhkan perasaanku untuknya, mempertahankan rasa cinta yang kumiliki. Tak pernah sedikitpun aku berpaling. Namun apa balasannya? Semua ini begitu menyakitkan. Tapi, kapan cinta tak sakit?
---
Aku meneteskan air mata. Kembali mengingat sosok kamu adalah hal yang menyakitkan. Hujan masih mengguyur Jogja. Mempertegas luka dan memperkental kenangan. Hujan memang terkenal dapat membawa resonansi kenangan masa lalu terhada otak manusia. Perjalanan dari kampus memang begitu lama. Kesibukanku menjadi seorang dosen di Jogjakarta ternyata belum mampu menghapuskan kamu dari pikiranku. Aku kembali memejamkan mata. Mencari nyaman yang belum kutemukan.
HP ku bergetar. Getaran kecil saja sudah membuatku tersentak, bagaimana dengan goncangan? Aku kembali ngelantur.
                 From : +6281079954666
                             Sekian lama tidak bertemu. Aku mengirim rinduku di sela rintik hujan pada senja ini. Apa kabar?
Masihkah kau mengingatku?
 Aku tersentak. Sosok kamu yang tak pernah terganti. Aku kembali menahan sakit. Ah, aku masih mengingatmu. Aku juga merindukanmu, sangat. Tapi bagaimanapun kamu tetaplah kamu. Aku tak ingin sakit lagi. Aku tak ingin jatuh dalam kubangan yang sama. Sudah ku hapal betul bagaimana kamu yang ingin aku kembali ke pelukanmu lalu kau akan meninggalkanku lagi nanti. Betapa bodohnya aku dahulu mau menunggu kamu. Tapi satu hal yang perlu kau tau, aku tidak sebodoh dulu lagi.
To : +6281079954666
                             Aku lelah mengikuti permainanmu, kau tau? Berubahlah.



0 komentar:

Posting Komentar